top of page

"Ah, Itu Cuma Teori": Sebuah Elegi untuk Akal Budi yang Malas

  • alfahaga
  • May 22
  • 2 min read

Ada satu kalimat yang kerap muncul dari mulut yang tampak serius tapi pikiran belum tentu sempat berpikir:


“Ah, itu cuma teori.”


Sekilas terdengar seperti pernyataan cerdas—seolah sang pengucap telah mencapai pencerahan praktis yang tak terjangkau oleh para pemikir. Namun, jika ditelisik lebih dalam, ucapan itu lebih mirip dengan yel-yel kemalasan intelektual yang dibungkus dengan jaket pragmatisme murahan.


Teori, bagi sebagian orang, adalah musuh bebuyutan: terlalu rumit, terlalu abstrak, terlalu… berpikir. Padahal, tanpa teori, mereka mungkin masih percaya bahwa bumi ini datar, petir adalah kemarahan dewa, dan penyakit datang karena roh jahat, bukan karena virus.


Ironisnya, kehidupan modern yang mereka nikmati—dari ponsel, kopi instan, sampai pinjol dengan bunga mencekik—semuanya adalah buah dari teori. Bahkan ketika mereka mengetik “itu cuma teori” di kolom komentar media sosial, mereka melakukannya melalui hasil teori fisika kuantum, algoritma komputer, dan rekayasa jaringan. Tapi ya sudahlah, mungkin terlalu panjang menjelaskannya—kan itu cuma teori.


Mungkin kita juga pernah dengar ujaran heroik semacam:

“Saya ini orang goblok, gak sekolah tinggi-tinggi, modal nekat aja bisa jadi miliuner. Sementara sarjana-sarjana dan profesor-profesor itu kebanyakan teori!”

Pernyataan ini sering dielu-elukan sebagai bukti bahwa praktik lebih unggul dari teori. Tapi yang jarang disadari adalah: apa yang mereka praktekkan itu sebenarnya juga ada teorinya. Hanya saja, mereka tidak tahu, atau terlalu malas (atau terlalu arogan) untuk mengakui bahwa mereka tak berjalan sendirian—bahwa jejak keberhasilan mereka pun punya landasan ilmiah yang telah dijabarkan oleh orang-orang yang “kebanyakan teori” itu.


Ucapan “itu cuma teori” sering digunakan sebagai tameng: untuk menolak berpikir lebih dalam, untuk menghindari pembelajaran, atau sekadar karena merasa “praktis” itu lebih keren daripada “mengerti.” Tapi seperti kata seorang filsuf tua yang sudah mati dan tentu tak bisa membela dirinya lagi:

“Berpikir itu melelahkan. Maka tak heran, banyak yang lebih memilih untuk sekadar merasa.”

Teori bukan lawan dari praktik. Ia adalah fondasinya. Tanpa teori, kita hanya meraba-raba dalam gelap sambil berharap tidak tersandung hal yang sama untuk kesekian kalinya. Teori adalah upaya manusia untuk tidak terus-menerus bodoh dalam pola yang sama.


Jadi lain kali, jika Anda mendengar seseorang berkata, “ah itu cuma teori,” bantulah mereka. Beri pelukan. Tawarkan buku. Atau cukup senyumi saja sambil bisikkan:

“Syukurlah Galileo tak berpikir seperti Anda.”

Comments


bottom of page