top of page

Panggung Kekuasaan dan Debu Peri

  • alfahaga
  • May 4
  • 6 min read

Updated: May 22

Sore itu gue gak sengaja nemuin potongan video dari film Margin Call. Niat awalnya hanya iseng scroll, tapi ternyata yang terjadi justru ledakan kesadaran. Bukan hanya karena cerita filmnya yang intens atau atmosfernya yang dingin seperti ruang rapat korporat yang kehilangan nurani, tapi karena aktor-aktornya (yang gila banget keren-keren)—Simon Baker, Kevin Spacey, Zachary Quinto, Paul Bettany, hingga Jeremy Irons—mewakili lebih dari sekadar karakter. Mereka mewakili wajah-wajah elegan dari sistem yang membusuk perlahan.


Film ini adalah potret dunia finansial modern: sekelompok manusia berdasi mahal yang duduk di atas reruntuhan nilai-nilai ekonomi nyata, sambil terus menghitung margin dan leverage. Dalam waktu kurang dari 24 jam, sebuah perusahaan investasi raksasa menyadari bahwa mereka bukan sedang menghadapi risiko biasa—mereka sedang duduk di atas bom waktu yang mereka sendiri rakit dengan teliti, dengan ekspektasi pasar sebagai detonatornya.


Peter (diperankan oleh Zachary Quinto), sang Analis muda dengan otak brilian menemukan bahwa portofolio mereka tidak sekadar rapuh. Ia sudah sekarat. Peter melaporkan hal ini ke atasannya dan dimulailah parade pengalihan tanggung jawab secara beruntut dari bawah ke atas: dari analis, ke VP, ke Director, ke Managing Director, hingga CEO yang meminta Peter untuk menjelaskan krisis ini dengan bahasa yang sedemikian sederhana dan mudah dimengerti.

"Tell me whats going on here and please, speak as you might to a young child or a golden retriever."

Di salah satu comment pada video itu: "Makin ke atas posisi jabatan, apa emang keliatan makin gak ngerti teknis alias makin kaya anjing ya intelejensianya? Tuh minta dijelasin seolah-olah dia anjing. Hehe."


Tapi emang kaya gitu gak sih?

💡 Simbolisme: Power bukan lagi soal kompetensi, tapi akses, koneksi, dan pengaruh.

Dan emang itu dikonfirmasi juga oleh si CEO (Jeremy Irons):

“It wasn’t brains that got me here, I can assure you that.”

Selain itu emang betul kayanya hal-hal ini di dunia profesional nyata:


💼 Invisibility of Work:

Analis ngumpulin data berhari-hari, disajikan dalam bentuk laporan, tapi cuma dilihat 10 detik.✅ “This is so goddamn true” jadi chorus hampir semua analis dan middle-manager yang pernah hidup.

👨‍💼 Ignorance of Leadership:

Kita meyakini pentingnya “data available & accessible anytime” → YES. Karena bila tidak, maka manajemen hanya berdasarkan intuisi dan ego. Margin Call mengkritisi hal ini lewat kalimat Jeremy Irons.

🔐 “It wasn’t brains that got me here”

Ini bisa berarti: koneksi, warisan kekuasaan, strategi politik internal—sebuah realita korporat bahwa kompetensi tidak selalu jadi penentu jabatan.Di dunia profesional, ini disebut sebagai "The Peter Principle" — people rise to their level of incompetence.

Namun potongan film ini belum selesai mengguncang nalar gue ketika Seth, analis lain temannya Peter berkata ditengah-tengah film itu:

"I made nearly a quarter of a million dollar last year... I push numbers around on a computer screen. A bunch of glorified crack addicts are willing to take that information and pretend to understand it and they bet it..."

Gue pun ketawa getir. Karena kalimat itu bukan lelucon. Itu pengakuan. Tentang dunia di mana transaksi bernilai miliaran ditentukan oleh siapa yang paling berani pura-pura paham.


💬 Mungkin Terjemahan Kasarnya:

Gue cuma main angka di layar komputer. Orang-orang yang punya uang kaya pecandu, ngambil info ini, pura-pura ngerti, dan bertaruh lawan orang lain di belahan dunia lain yang juga gak ngerti-ngerti amat.


🎯 Intinya:

  • Perdagangan di pasar finansial modern udah jauh dari ekonomi riil.

  • Banyak pihak bertaruh atas instrumen derivatif (kayak CDS, MBS, Options) yang mereka sendiri gak ngerti sepenuhnya.

  • Ini bukan jual-beli barang atau jasa. Ini kaya poker raksasa dengan uang miliaran dolar.


Tapi ya of course gak sederhana itu, even Peter si analis pinter tadi ngebales

“You do know it's a little more complicated than that, right?

Di film itu Peter emang sosok cerdas dengan background teknik (MIT), jadi dia ngerti sisi teknis dan matematikanya.

  • Dia tau ini bukan cuma “main angka”, tapi sistem yang sangat kompleks yang dibungkus seolah ilmiah dan akurat padahal banyak asumsinya sangat rapuh.

  • Tapi dia juga sadar — meski secara teknikal lebih rumit, dari sisi moral dan sistem, Seth punya point. Karena:

    • Banyak orang yang jadi kaya hanya dengan manipulasi informasi dan sentimen.

    • Hasil akhirnya? Hanya pertaruhan atas ekspektasi.



Mau gak mau, obrolan Seth dan Peter ini bikin gue terseret ke adegan legendaris di The Wolf of Wall Street antara Mark Hanna (Matthew McCounaghey) ngobrol dengan Jordan Belfort yang masih unyu-unyu (Leo Dicaprio):

“Number one rule of Wall Street, nobody.. I don't care if you're Warren Buffet or Jimmy Buffet, nobody is gonna know if the stock is going up or down or sideways or fucking circles.. Its all fugazi.. you know what fugazi is? Fugazi is a fairy dust, it doesn't exist. Its not fucking real."

Kedua film ini tidak sedang mengkritik sistem dari luar. Mereka menyindir dari dalam. Dan mereka tidak bicara tentang individu jahat—mereka bicara tentang struktur yang memungkinkan dan merayakan kebodohan yang dikemas rapi dalam jas mahal.


Hasil diskusi gue bareng AI, doi menyebut praktik nyata di dunia sehari-hari seperti ini:

  • Churning: broker menggoda klien untuk jual-beli terus agar dapet komisi.

  • Selling the dream: bukan menjual saham, tapi menjual "mimpi cepat kaya".

  • Paper Wealth: kekayaan di atas kertas yang belum jadi uang riil → bikin klien kecanduan portofolio, bukan uangnya sendiri.

  • Information Asymmetry: broker tau lebih banyak, tapi gak transparan ke klien.

💀 “Kita gak menciptakan, gak membangun, kita cuma jadi makelar ilusi.”

Sekarang, prakteknya sama tapi tools-nya aja lebih canggih dan ngikutin perkembangan zaman:

  • Dulu broker manual → sekarang algoritma.

  • Dulu jual omongan → sekarang jual model dan dashboard keren yang tetap menyesatkan.

  • Tapi tetap aja: ketimpangan informasi dan ketergantungan emosional klien ke “ahli” tetap jadi alat utama.


Dan yang paling menyesakkan adalah ini: fenomena ini bukan hanya milik Wall Street. Ini juga milik ruang rapat kita, ruang kampanye, algoritma media sosial, bahkan meja kerja harian kita.


Influencer politik yang memanipulasi amarah rakyat demi reach tak ubahnya broker yang menggiring klien ke investasi beracun demi komisi. Sama-sama:

  • Menjual sensasi, bukan solusi.

  • Membangun ketakutan, bukan kepercayaan.

  • Mengandalkan persepsi, bukan fakta.


Narasinya sama. Skemanya sama. Pola berulang yang hanya berubah kostum:

  1. Ciptakan isu.

  2. Bungkus dengan ketakutan.

  3. Viralkan dengan buzzer.

  4. Panen kekuasaan.

  5. Ulangi.

Dan saat semuanya berantakan? Tinggal bilang: “Kita hanya mengikuti sistem.”


💥 From Wall Street to WhatsApp Street

Dunia Keuangan

Dunia Politik Digital

Manipulasi harga saham

Manipulasi opini publik

Mainkan sentimen pasar

Mainkan emosi massa (marah, takut, harapan)

"Pump and dump" saham

"Pump and dump" kandidat/isu

Info asimetris → klien ditipu

Info asimetris → rakyat disesatkan

Broker/influencer saham

Influencer/buzzer politik

Algoritma trading cepat

Algoritma medsos (FB, IG, TikTok, Twitter)

🔮 Fugazi Politik

“It’s all fugazi... fairy dust... it doesn’t exist.”

Terdengar familiar gak sih:

  • Janji kampanye tanpa niat realisasi.

  • Debat politik yang cuma theatrical performance.

  • Isu hoaks yang dibuat untuk framing dan fearmongering.


Yang penting narasi terbentuk → viral → menciptakan persepsi → persepsi = realita sementara → orang bertaruh (pilih).


🔁 "Siklus Buzzer Politik = Siklus Broker Manipulatif"

  1. Bangun Isu: "Lawan politik anti rakyat!"

  2. Goreng Isu: Viralkan dengan narasi meledak.

  3. Caplok Dukungan: Seret opini publik.

  4. Rebut Momentum: Kuasai framing di media & medsos.

  5. Lepas Tanggung Jawab: Saat opini pecah, influencer-nya kabur atau alih topik.

  6. Ulang Siklusnya: Ke target berikutnya.

Mirip dengan jual saham ke retail pas naik → dump → cari korban baru.


Dan di titik itu, kita tidak sedang menonton film lagi. Kita sedang melihat pantulan kaca dari dunia kita sendiri.


Pertanyaannya sekarang: bagaimana jika semua yang kita kerjakan setiap hari—meeting, KPI, slide presentasi, pitching ide, mengatur persepsi atasan—ternyata hanyalah bagian dari simulasi kontribusi?


Bagaimana jika kerja keras kita hanya jadi bahan bakar narasi orang lain?


Gue jadi mulai bertanya: berapa banyak pemimpin yang sebenarnya tidak tahu apa-apa, tapi sukses karena mengerti satu hal penting—cara terlihat pintar di ruangan yang salah?


Tulisan ini bukan sekadar review film. Ini adalah epilog dari sebuah perasaan yang mengendap lama: bahwa sistem yang kita anggap profesional ternyata sering kali hanya panggung sandiwara. Yang terbaik bukan yang membangun. Tapi yang paling bisa menjual narasi bahwa dia sedang membangun.


Dan kalau loe pernah merasa:

  • Kerja loe gak dilihat.

  • Arah organisasi ditentukan oleh intuisi kosong.

  • Loe dijadikan alat untuk mendukung kebijakan yang loe sadar kalo itu gak masuk akal...

...maka Margin Call bukan fiksi buat loe.


Dan jika kita terus diam, maka kita tidak lebih dari penonton yang tertawa pelan di bioskop sambil tahu, di luar sana, dunia yang sebenarnya sedang terbakar.


Film Margin Call mungkin tidak sepopuler The Big Short atau The Wolf of Wall Street. Tapi ia memberikan sesuatu yang langka: kesadaran hening akan sistem yang pelan-pelan membusuk dari dalam.


Dan kalau loe, seperti gue, mulai merasa bahwa dunia ini terlalu banyak tipuan canggih yang dibungkus narasi profesional, mungkin sudah waktunya kita menjadi suara yang tak lagi diam.


Kita perlu membangun ulang dunia di atas nilai, bukan ilusi.


Bukan untuk jadi pahlawan. Tapi agar kita bisa bilang ke generasi setelah kita:

"We did build something."

Comments


bottom of page