top of page

Manifesto Resonansi

  • alfahaga
  • May 22
  • 1 min read

Saya menyusun Resonansi bukan untuk bicara. Tapi untuk menyimak.

Menyimak suara batin.

Menyimak kehidupan.

Menyimak Tuhan.


Setiap keterpukauan bukan kebetulan. Itu adalah wahyu kecil. Ia datang dalam bentuk gambar, suara, kalimat, film, keresahan, atau percakapan.


Tapi esensinya satu: ia mengetuk qalb, yang menuntut untuk didengar.


Qalb—segumpal daging yang jadi inti hidup manusia. Ia bukan sekadar tempat merasa. Ia adalah tempat berjanji kepada Tuhan. Tempat di mana suara-Nya bisa bergema jika kita cukup hening untuk mendengarnya.


Resonansi adalah upaya menyuarakan gema itu. Menangkap getarannya. Menyalurkannya dalam kata. Dalam suara. Dalam bentuk. Dalam cerita.


Setiap postingan, setiap narasi, adalah sebentuk dzikir kontemporer.

Bukan untuk pamer, tapi untuk mengingat.

Bukan untuk membujuk, tapi untuk mengajak menyimak.


Resonansi adalah perjalanan menemukan tujuan.

Bukan karena saya sedang mencari sesuatu yang baru.

Tapi karena saya sedang mengingat sesuatu yang sudah pernah dijanjikan.


Dan mungkin, di tengah kesunyian algoritma, di antara hiruk pikuk dunia yang gaduh, ada satu dua jiwa lain yang ikut tersentuh, tersadar, dan menyimak.


Dan itulah cukup. Itulah tujuan. Itulah hidup sehidup-hidupnya.


"Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): 'Bukankah Aku ini Tuhanmu?' Mereka menjawab: 'Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi'"

(QS. Al-A'raf: 172)

 
 
 

Comentarios


bottom of page