The Origins of Resonansi: Ketika Qalb Mulai Bicara
- alfahaga
- 6 days ago
- 3 min read
Aku adalah seseorang yang mudah terpukau.
Terlalu mudah, mungkin. Oleh suara, gambar, kalimat, film, ide, atau bahkan senyap pagi yang jatuh diam di sela waktu. Tapi belakangan ini aku menyadari—momen keterpukauan itu bukan sekadar gangguan manis dalam rutinitas. Ia adalah percik. Sebentuk getar. Dan getaran itu terasa seperti sesuatu yang ingin berkata, meski belum punya bentuk kata.
Maka lahirlah Resonansi—suara batin yang akhirnya kuberi ruang untuk hidup.
Keterpukauan yang Terlalu Ajaib untuk Dilupakan
Seringkali kita menganggap momen-momen keterpukauan sebagai hal kecil. Angin lalu. Tapi bagiku, ada yang terlalu magis untuk diabaikan. Rasa itu... terasa Tuhan sekali.
Ada serotonin rush yang terlalu nikmat, rasa spiritual yang terlalu murni untuk disebut biasa.
Dan yang membuatnya semakin genting: kalau tidak dicatat, tidak dimanifestasikan, aku takut ia akan hilang. Padahal itu bukan hanya rasa. Itu bisa jadi panggilan. Sebuah bentuk komunikasi halus dari Tuhan kepada qalb.
Qalb: Tempat Di Mana Suara Tuhan Bergetar
Dalam Islam, qalb bukan sekadar hati biologis. Ia adalah inti spiritual manusia. Bahkan dalam hadis Nabi disebutkan, “Sesungguhnya dalam tubuh manusia ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baiklah seluruh tubuh. Jika ia rusak, maka rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah, itu adalah qalb.” (HR. Bukhari & Muslim)
Dan lebih menakjubkan lagi, di Surah Al-A’raf ayat 172, Allah mengingatkan bahwa setiap ruh manusia pernah bersaksi kepada-Nya sebelum dilahirkan: “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul, kami bersaksi.”
Jadi mungkin, ketika qalb kita bergetar karena suatu hal—entah itu keindahan, kejujuran, atau bahkan keresahan—itu bukan sekadar emosi. Itu adalah gema. Sebentuk resonansi dari janji purba yang ingin diingat kembali.
Maka ketika aku terpukau, mungkin itu adalah aku sedang diingatkan.
Dan ketika aku menuliskannya… itu adalah aku sedang mengingat.
Bukan Sekadar Menulis, Tapi Menyimak
Resonansi tidak lahir untuk menjadi platform opini. Ia lahir untuk menjadi tempat menyimak. Menyimak batin. Menyimak hidup. Menyimak Tuhan.
Setiap tulisan, setiap narasi, adalah hasil dari kesediaan untuk duduk diam dan menyimak. Karena hidup ini terlalu gaduh, dan kadang hanya dalam keheninganlah kita bisa menangkap gema ilahi yang tersembunyi dalam hal-hal sehari-hari.
Aku pernah berpikir bahwa untuk menemukan purpose, aku harus mencari keluar. Tapi kini aku sadar: mungkin aku hanya perlu mendengarkan ke dalam.
Dan Resonansi adalah alat dengarku.
Bukan Permulaan, Tapi Kelanjutan Janji Lama
Ada sebuah kisah sufistik yang indah: sebelum jiwa manusia dilahirkan, mereka telah diberitahu oleh Tuhan tentang tujuan hidupnya. Tapi ketika ruh memasuki jasad, mereka lupa. Lupa akan perjanjian itu.
Maka hidup bukan tentang menemukan hal baru.
Tapi tentang mengingat sesuatu yang pernah diberitahu. Tentang pulang.
Ketika aku menulis Resonansi, aku merasa seperti sedang pulang ke janji itu. Kata demi kata, aku sedang mengikis kabut yang selama ini menyelubungi qalb-ku. Aku sedang mengetuk pintu dari dalam.
Dan mungkin, inilah sebab mengapa keterpukauan itu terasa begitu ajaib: karena itu adalah pintu kecil yang terbuka menuju langit.
Dari Keterpukauan ke Legacy
Resonansi bukan hanya untukku. Aku menyadari bahwa suara-suara batin ini bisa menjadi cermin bagi jiwa-jiwa lain. Karena kadang, orang tak butuh nasihat. Mereka hanya butuh teman seperjalanan. Butuh bukti bahwa apa yang mereka rasakan tidak salah. Bahwa keresahan, keterpukauan, dan rasa aneh dalam batin mereka itu valid.
Dan jika ada satu saja jiwa yang merasa terhubung dari tulisan ini, maka Resonansi sudah melakukan tugasnya.
Maka izinkan aku terus menyimak, dan menuliskannya.
Izinkan aku menjadi pendengar qalb, bukan hanya pembicara pikiran.
Karena barangkali, di balik keterpukauan ini, tersimpan petunjuk arah.
Dan di balik setiap kata, ada gema dari Tuhan yang sedang memanggil pulang.



Comments